Menjadi seorang reporter adalah imipianku sejak aku duduk di bangku SD. Hal ini karena seringnya aku menonton acara televisi "Jejak Petualang" yang menyuguhkan begitu pawai dan berani seorang reporter perempuan menjelajahi nusantara ini. Sempat aku mengikuti dunia jurnalistik saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Meskipun aku belum bisa aktif dalam organisasi ini, tapi aku mendapatkan bekal dan pengalaman mewawancarai orang-orang mulai dari teman, guru sampai Kepala Sekolah.

Pernah sekali Ibu bertanya padaku, Ingin jadi apa kau kelak nanti? Dengan tegas aku menjawab? "Reporter bu, aku ingii keliling nusantara bahkan luar negeri". Kau tahu apa respon ibuku. Dengan wajah penuh harapan senyum-senyum sendiri. Beliau memberikan jawaban yang tak pernah aku harapkan. Tolakanlah yang aku dapatkan. Nasihatnya padaku bahwa aku ini anak perempuan kelak menjadi istri yang akan mengurus anak-anak. Jika aku ini berkelana terus siapa yang akan mengurus anakmu kelak. Jangan kau timpakan anak-anakmu pada ibu. Ibu sudah tua renta otot-otot makin lenyu dan tulang-tulang makin rapuh.
Tegakah kau menyuruhku untuk mengurusi anak-anakmu.

Mendengar nasihat ibu, memang ada benarnya tapi aku menimpali bahwa aku akan berhenti jika aku kelak mengandung buah hatiku. Aku pun tak akan menyuruh ibu untuk mengurusinya tapi aku hanya meminta ibu untuk mengawasinya saja. Aku berusaha meyakinkannya meskipun beliau tetap tidak memperbolehkan. Oleh karena itu aku bingung ketika ditanya di kemudian hari hendak jadi apa kau? Karena aku merasa cita-cita yang satu tadi tidak mungkin kesampaian tanpa izin sang ibu. Aku pun tak tahu ingin jadi apa lagi selain itu.

Ketika tahu aku  diterima di jurusan Psikologi, penasaran pun menjadi hal yang aku pikirkan. Apa yang sedang Allah rencanakan untuk ku. Meskipun kata guru ngaji dalam menuntut ilmu tidak boleh memikirkan kelak jadi apa hanya bisa ikhlas dalam menuntut ilmu, karena pasti Allah memberikan jalan. Hal ini terabaikan oleh ku karena menurutku kelak jadi apa memanglah harus dipikirkan di awal supaya perjalanan kita terarah untuk mencapai hal itu. Ketika diakhir kita tak mendapatkannnya itu sudah rencana lain yang diatur oleh Allah. Tugas kita hanya ikhtiar. Ingat aku pernah berpesan sebelumnya tentang genggaman tangan kita. Bahwa tak seluruh telapak tangan tertutupi kepalan tangan kita. Masih ada garis tangan yang terlihat itulah kuasa Allah.

Ketika aku tahu bahwa orang jurusan psikologi sangat dibutuhkan di berbagai segi kehidupan bahkan wartawan juga bisa. Contoh nya dalam menghadapi korban bencana wartawan yang mengerti psikologi memiliki cara tertentu untuk mendapatkan informasi tanpa menimbulkan tekanan. Dari sini aku mulai mengerti bahwa semua itu pasti ada jalannya. Aku semangat lagi untuk memperdalam ilmu yang aku ambil ini dan masalah kelak jadi apa kita lihat saja nanti. Tapi yang terpenting aku tahu bahwa kemungkinan untuk aku jadi reporter masih ada.

Seorang wartawan yang menguasai ilmu psikologi, seperti apa ya itu. ....
tunggu kisah selanjutnya.....


Leave a Reply