Terik matahari pagi
yang sangat cerah menyinari sampai ke sela-sela dedaunan belakang rumahku. Hari
itu adalah hari dimana aku harus ujian untuk masuk ke universitas yang sangat
aku banggakan. Hari-hari sebelumnya aku dan teman-teman yang mengikuti tes
ujian masuk telah mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Mulai dari
belajar, mental, batin serta restu orang tua sudah kami lalui.
Tes ujian dimulai pukul
08.30, sementara aku dan teman-teman berangkat dari rumah sekitar jam 03.00
dengan menaiki kereta api. Kami bersepakat untuk bertemu di perempatan depan rumah Shahnaz. Ayam
pun belum berkokok aku sudah bangun, ibuku membantu mempersiapkan segala
sesuatu. Setelah itu aku berpamitan dan meminta do’a restu kedua orang tua.
Rumahku adalah rumah terjauh dari perempatan daripada rumah teman-temanku
lainnya. Aku berusaha untuk tidak takut meskipun sebenarnya aku sangat takut.
Aku berjalan sangat cepat dan melihat ke kanan-kiri. Terkadang aku memandang di
kejauhan melihat sesosok bayangan putih berdiri atas atap. Aku langsung
mengambil batu dan melemparkan ke arah atap rumah orang untuk menepis rasa
takut ku. Namun hasil lemparanku selalu
salah, alhasil menimbulkan suara yang menggangu tuan rumah sehingga mereka
teriak-teriak. Mendengar hal itu aku pun tertawa dan berlari. Sekali lagi hal
itu aku lakukan untuk menepis rasa takutku.
Perempatan rumah
Shahnaz tepat di depan mata dengan
sergap aku berlari, setelah sampai tak ada satupun temanku yang
terlihat. Lalu aku menunggu beberapa menit namun tak kunjung datang. Aku
memutuskan untuk pergi ke rumah Shahnaz. Aku mengetuk pintu rumahnya. Aku
mendengar suara tertawa-tawa kecil dari dalam rumahnya. Aku sangat penasaran,
kemudian Shahnaz membuka pintu. Aku kaget bercampur geram karena ternyata semua
temannya ada di rumah Shahnaz. Aku pun berteriak “haaahhhh... kenapa kalian
disini semua, dasar kalian ... aku tunggu di perempatan ternyata semua ngrumpi
disini... ayo berangkat.!” Mereka tertawa melihat aku. Mereka ternyata sengaja
ngerjain aku.
Kami yang terdiri dari
enam orang yaitu aku sendiri, Shahnaz, Najwa ,Taht, Felix, Helmy. Kami
melanjutkan misi dengan jalan kaki ke stasiun karena memang dekat sekali dengan
desa kami. Kami naik kereta api pukul 03.30. Dengan keramaian orang-orang
pekerja yang mau berangkat ke pasar dengan membawa dagangan mereka tak membuat
kami terganggu. Kami tertidur dengan pulas, Adzan subuh bersaut-saut. Felix
membangunkan kami semua untuk pergi wudhu. Aku, Shannaz, Najwa, dan Taht
mencari air di kereta api , namun tak ada satu pun air yang bersih. Lalu kami
berempat memutuskan untuk membeli air botol untuk berwudhu. Kami kembali ke
tempat duduk untuk sholat.
Biasanya jika sudah jam
06.30 di kereta sudah banyak pedagang asongan yang berjualan nasi, jajan, atau
minum. Namun pagi itu tak ada satupun penjual makanan yang lewat, kami lapar bukan
main. Helmy bertanya kepadaku “Nabila... gimana nanti kita bisa ngerjain soal kalo
perut kita aja kosong , gimana bisa mikir kalo gini?” Taht nyambung pula
“iya ni kata opa ku kalau jam segini sih banyak penjual makanan , tapi tumben
hari ni gak lewat?”. Felix menengahi permasalahan mereka , dia memberi saran
untuk mencari warung setelah sampai di stasiun.
Tak lama lagi kami akan
turun di stasiun baru, kami bergegas untuk segera turun. Sesampai di stasiun
kami langsung mencari warung untuk menyambung hidup mereka. Ada warung dengan
menu makanan nasi pecel sederhana sekali meskipun hanya dengan lauk peyek kami sangat lahap karena sudah kehabisan lauk
lainnya , warung itu memang laris. Saat mereka masih makan aku pergi ke kamar
mandi. Terdengar oleh ku angkotan untuk jurusan yang kami tuju. Aku segera
bergegas keluar dari kamar mandi dan kembali ke warung. Namun tak ada satupun
kawan ku yang terlihat, aku pikir mereka pasti ngerjain aku lagi, namun aku
tunggu-tunggu mereka tak muncul juga. Aku bertanya ke ibu yang punya warung.
Ternyata mereka sudah berangkat dengan naik angkot. Aku bingung lalu mencari
jalan lainnya. Kalau sudah jam segini sudah tidak ada angkotan yang lewat,
mungkin lewat lagi nanti pukul 08.30. Nggak mungkin aku berangkat pada pukul
itu. Lalu aku menumpang untuk naik mobil
gundul yang berisi beberapa kambing. Waduh baunya bukan main. Setelah menaiki
mobil itu aku masih harus berjalan kaki menuju lorong-lorong sempit di ibukota
padahal sudah 08.00.
Ketika aku bernyanyi dengan gembira di pinggir jalan
untuk menghibur hatiku , aku melihat mobil sedan berwarna merah dengan cepat
melesat di depanku dan terdengar suara brukkk.. Aku melihat ternyata mobil itu
menabrak kucing. Sungguh aku kesel banget karena mobil itu langsung kabur tanpa
tanggung jawab. Kebetulan aku sangat suka dengan kucing apalagi berwarna putih.
Tak ada satupun orang yang peduli dengan nasib kucing itu. Padahal saat
kejadian itu banyak orang di sekitar jalan itu.
Dengan rasa simpati
yang mendalam dan kecintaanku kepada hewan. Membuat hatiku tergerak untuk
membawanya ke rumah sakit. Aku tak tahu harus dibawa kemana apa ke rumah sakit
umum atau ke rumah sakit khusus hewan , tapi dimana aku pun tak tahu. Dengan
kebingungan itu aku memutuskan untuk membawa ke klinik kecil di dekat
universitas idaman. Aku meminta dokter
yang sudah tua itu untuk menolong nyawa kucing yang kakinya sudah hampir
putus. Sang dokter menolak karena dia hanya menerima pasien manusia, aku
memohon dengan sangat dan terus merayu sang dokter untuk meau membantu sang
kucing. “Apa guna ilmu anda sebagai dokter kalo nolongin kucing aja gak mau”
aku terus memojokkannya. Dokter tua itu mau, aku menyaksikan sendiri operasi
itu berlangsung. Aku menjadi perawat dadakan. Sesaat aku lupa bahwa aku harus
pergi untuk ujian masuk ke universitas idaman. Aku pamit kepada pak dokter
untuk mengikuti ujian masuk itu. Kemudian aku bergegas masuk ke ruangan padahal
ujian sudah dimulai sekitar 30 menit yang lalu , untungnya aku diperbolehkan
masuk. Aku mengatur napas untuk menenangkan seluruh jiwa dan ragaku. Kemudian
aku mulai mengerjalakan soal itu.
Seusai ujian aku keluar
dari ruangan dan aku tak tahu harus kemana lalu pergi ke fakultas yang sangat
aku idamkan yakni fakultas MIPA. Aku bertemu dengan mahasiswa Biologi aku
bertanya banyak hal tentang itu. Semakin senang hatiku dan aku lupa akan teman-temanku.
Aku kembali dengan
menaiki bus malam kembali ke desa ku tercinta disebrang gunung tertinggi di
pulau jawa. Beberapa hari berikutnya dengan harapan yang sangat besar dan tak
lupa iringan doa yang selalu terucap di bibir. Aku membuka situs resmi
pengumuman ujian masuk universitas. Aku melihat namaku tercantum di sana dengan
embel-embel LULUS. Aku langsung sujud syukur dan menemui kedua orang tuaku.
Menurut rumus
matematika "1:0= ~".
Itulah
yang dikatakan oleh guruku ketika menyabet juara I guru terfavorit di suatu
provinsi. Beliau mendapat hadiah untuk liburan ke Negara Malaysia. Filosofi
dari rumus di atas adalah satu keihlasan yang diberikan kepada sekitas maka
sesuatu yang tak terhingga atau besar akan kembali kepada kita. Sebuah
keikhlasan memang diperlukan dalam menghadapi setiap mozaik hidup ini meskipun
itu berat.